"Aku dan Gunung"
Dedaunan merebah mendesah basah
Yang tenang melayang kemudian mendarat bertingkat-tingkat rapat
Menumpuk hingga lapuk membusuk
Di tanah-tanah miring yang tak pernah kering
Lembab mengendap
Di beku dingin hangat menguap
Langkahku karam
Di humus kakiku tenggelam
Tebing-tebing liat menyekat hebat
Nafasku sesak memberat
Aku sudah setinggi awan
Didorong para kabut yang terus berkejaran
Di punggungnya angin menghempas anak-anak hujan
Dingin semakin dingin
Sendi-sendiku ngilu
Jemari kaku membatu
Aku mati lesu
Aku dipangku randu yang membisu
Akar-akar rotan bersedu sedan
Keduanya berkata terbata-bata ;
"Apakah kau manusia?"
"Mereka menyayatku dengan sebilah belati tajam"
Lihatlah tubuhku penuh luka"
"Aku tak kenal mereka"
"Mereka menulis nama dan tanda"
"Apakah kau manusia"?
"Yang akan melakukan hal serupa"
Lihat bungkusan plastik di tangan kananmu"
"Dan gabus lisong di sela jarimu"
"Aku tanpa jubah duri"
"Akankah kau campakkan keduanya di rongga-rongga dadaku ini"
Duka terasa pengap
diperangkap kabut yang kembali merayap
Derak derak ranting patah gundah gulana
Remuk tak berupa diatas noda dan luka
Ujung api di ibu jari dan telunjuk
Kutebar abu dengan khusyuk
Pedih perih menusuk
Kala sekumpulan kecici hadir membesuk
Angin berarak membuka selimut mega-mega
Biru sudah wajah cakrawala
Sang surya mendekap embun
Kemudian menjadikannya butiran intan yang berkilauan
Kini sudah di hidungnya yang mancung
Aku terpesona mendengar kicau kutilang gunung
Yang bersenandung seusai mendung berkabung
Disemak-semak batang kayu abadi dan celah cadas ku hela nafas bebas
Pandanganku menerapas pada bukit-bukit tak berparas
Separuh tubuhnya hancur
Perutnya terburai lebur
Dan segala isinya diperebutkan
Oleh keserakahan dan kesewenangan
Batu gajah meringkuk malu
Setangkai edelweiss jatuh berderai
Patah terkulai
Keduanya bertanya ;
"Apakah kau manusia?"
Mereka menikamku dengan belati tajam"
Memberinya gincu kemerahan"
"Yang tak jua luntur di basuh hujan"
"Apakah kau manusia?"
Lihat kami yang mekar"
"Kau hitung pun tak sukar"
Aku lipat-lipat yang kulihat
Kulekat dalam ingat
Mungkin Tuhan beri rahmat
Bukakan mata yang tertutup rapat
Sepi kian mencekam
Dalam hening kupatri diam
Aku ingin berkaca pada kubangan hujan
Dari semua perlakuan
Yang hanya menambah penderitaan
Selusin batu gajah mengelinding
Aku hancur selaksa pecahan beling
Tangan-tangan batu dilereng curam berusaha meraih teriakku yang semakin tenggelam
Asap-asap belerang semakin garang
Jerit sakit kencang mengerang
Aku hilang suara,hilang bayangan
Di dunia pewayangan yang kusebut khayangan
Bengkulu,30/11/13
Primanata.D
Kumpulan Karya Sastra Primanata Dian Isa
Monday, December 9, 2013 -
Puisi tanah air,
Sajak sosial
0
komentar
Sajak memperingati hari bumi 22 april
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment